Surat At Tiin (سورة التين) adalah surah ke-95 dalam Al Quran. Surah ini terdiri dari 8 ayat, termasuk
golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah Surah Al-Buruj. Nama At Tiin diambil dari kata At Tiin yang
terdapat pada ayat pertama surat ini yang ertinya Buah Tin.
·
Manusia makhluk yang terbaik rohaniah dan
jasmaniah, tetapi mereka akan dijadikan orang yang amat rendah jika tidak
beriman dan beramal saleh; Allah adalah Hakim Yang Maha Adil.
1. Wat tiini waz zaituun
"Demi Tin dan Zaitun,"
Kata Tin dalam Al Quran hanya disebut satu
kali, yaitu dalam surat ini. Ada
ahli tafsir
yang menyebutkan bahwa 'tin'
adalah sejenis buah yang terdapat di
Timur Tengah.
Bila matang, warnanya
coklat, berbiji seperti tomat,
rasanya
manis, berserat
tinggi, dan dapat digunakan
sebagai obat penghancur batu pada
saluran kemih
dan obat wasir.
Oleh sebab itu,
pada Al Quran terjemahan
Departemen Agama, kalimat
Wattiin diartikan dengan "Demi buah Tin"
Kata
Zaitun disebut empat
kali dalam Al Quran.
"Zaitun" adalah sejenis
tumbuhan yang banyak tumbuh di sekitar Laut Tengah, pohonnya berwarna hijau,
buahnya pun berwarna hijau, namun ada pula yang
berwarna hitam pekat, bentuknya
seperti anggur,
dapat dijadikan asinan dan minyak yang sangat jernih. Zaitun
dinamai Al Quran sebagai syajarah mubaarakah
(tumbuhan yang banyak manfaatnya).
Tidak
semua ahli tafsir
sependapat bahwa yang dimaksud Tin dan Zaitun
adalah nama buah sebagaimana
dijelaskan di atas. Ada juga yang berpendapat bahwa
'Tin' adalah
nama bukit tempat
Nabi Ibrahim a.s. menerima wahyu,
sedangkan
'Zaitun' adalah
nama bukit di dekat Yerusalem
tempat Nabi Isa menerima wahyu.
Jadi 'Tin'
dan 'Zaitun' adalah dua tempat
yang dianggap bersejarah, karena di
tempat itulah Nabi Ibrahim a.s.
dan Nabi Isa a.s. menerima wahyu.
Kedua
pendapat tersebut sama-sama
memiliki alasan yang kuat. Namun, kalau
kita cermati konteks ayatnya, kelihatannya
pendapat terakhir lebih logis karena
pada ayat berikutnya, yaitu ayat kedua dan ketiga,
Allah swt. berfirman tentang
bukit Sinai dan kota Mekah.
2. Wa thuuri siiniin
3. Wa haadzal baladil amiin
" dan demi bukit Sinai,
dan demi kota Mekkah ini yang aman"
Hampir
seluruh ahli tafsir
sependapat kalau yang dimaksud 'Thuur Sinin'
pada ayat
tersebut adalah bukit Tursina atau lebih dikenal dengan nama
bukit
Sinai, yaitu
bukit yang berada
di Palestina, tempat Nabi Musa a.s. menerima
wahyu. Sementara
yang dimaksud 'Baladil Amiin' adalah kota Mekkah, tempat Nabi
Muhammad saw. menerima wahyu.
Dengan
ayat-ayat di atas Allah swt. bersumpah dengan empat tempat penting,
yaitu Tin, Tursina (bukit Sinai), Zaitun, dan
Baladil Amin (kota Mekah), dimana
pada empat
tempat tersebut Nabi Ibrahim as., Musa as., Isa as., dan
Muhammad
saw. menerima
wahyu untuk memberikan bimbingan
dan pencerahan hidup pada umat
manusia.
Bimbingan
yang diberikan para nabi dan
rasul ditujukan untuk menjaga agar
manusia tetap
berada dalam kemuliaannya
karena manusia adalah makhluk
yang
diciptakan Allah
swt. dalam bentuk yang terbaik, sehingga dijelaskan pada ayat
berikutnya,
4. Laqad khalaqnal insaana fii
ahsani taqwiim
"sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya,"
Allah swt.
dalam ayat ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia
itu
diciptakan dalam
bentuk yang paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani,
seorang
pakar bahasa
Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat ini merupakan
isarat tentang
keistimewaan manusia dibanding
binatang, yaitu dengan
dikaruniainya akal,
pemahaman, dan bentuk
fisik yang tegak dan lurus. Jadi
'ahsani taqwiim' berarti bentuk
fisik dan psikis yang sebaik-baiknya.
Kalau
kita cermati lebih
jauh, sesungguhnya kesempurnaan
manusia bukan
hanya sekedar pada bentuk fisik dan psikisnya saja,
kedudukan manusia di antara
makhluk Allah
lainnya pun menempati
peringkat tertinggi, melebihi kedudukan
malaikat,
"Dan sesungguhnya
Kami telah memuliakan
anak Adam (manusia) dan Kami angkut
mereka di
darat dan di laut, dan Kami melebihkan mereka atas
makhluk-makhluk
yang Kami ciptakan, dengan
kelebihan yang menonjol." (Q.S. Al Isra 17:70)
Pada
prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman
dan taat
kepada Allah swt.,
ia bisa melebihi kemuliaan para malaikat. Ada
beberapa alasan
yang mendukung pernyataan
tersebut. Pertama, Allah
swt.
memerintahkan kepada malaikat
untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal
penciptaan manusia
Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada
para Malaikat, "Sujudlah kamu kepada
Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis,
ia enggan
dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al
Baqarah
2:34)
Kedua,
malaikat tidak bisa
menjawab pertanyaan Allah
tentang al asma
(nama-nama ilmu
pengetahuan), sedangkan Adam a.s. mampu karena memang diberi
ilmu oleh
Allah swt., "Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama
benda-benda itu jika
kamu memang golongan yang benar. Mereka
menjawab, "Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui
lagi
Maha Bijaksana." Allah
berfirman, "Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka
nama-nama benda
ini." Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda itu,
Allah berfirman, "Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu
lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32).
Ketiga,
kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah tabiatnya, sebab
malaikat tidak memiliki hawa nafsu; sedangkan
kepatuhan manusia pada Allah swt.
melalui perjuangan yang berat
melawan hawa nafsu dan godaan setan.
Keempat,
manusia diberi tugas
oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi,
"Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat, "Sesungguhnya
Aku
hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
Mencermati
analisis di atas,
bisa disimpulkan betapa Allah swt. telah
memberikan kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia,
bukan hanya yang bersifat
fisik dan
psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak
mampu mengemban amanah yang begitu besar,
derajatnya akan turun ke tingkat yang
paling hina,
bahkan bisa lebih
hina dari binatang
sekalipun, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat
berikutnya.
5. Tsumma radadnaahu asfala
saafiliin
"Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya,"
Kalau
binatang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan perut dan
syahwat biologisnya,
kita tidak bisa mengategorikannya sebagai perbuatan hina,
karena binatang tidak diberi
akal dan nurani. Namun, kalau manusia melakukan hal
yang sama seperti binatang,
kita mengategorikannya sebagai perbuatan hina karena
manusia diberi
akal dan nurani untuk mengontrol
perbuatannya. Nah, kalau kita
tidak pernah
menggunakan akal sehat
dan nurani untuk mengarungi
kehidupan,
berarti derajat kita anjlok ke
level yang serendah-rendahnya.
Agar
tidak turun ke derajat yang paling rendah, Allah swt.
memerintahkan
manusia untuk
mengisi hidup dengan iman dan amal saleh, sebagaimana dijelaskan
pada ayat berikutnya,
6. Illalladziina aamanuu
wa'amilushshaalihaati falahum ajrun ghairu mamnuun
"Kecuali orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh;
maka bagi mereka pahala
yang tiada
putus-putusnya."
Orang
yang tidak akan
turun pada derajat
yang paling rendah adalah
orang-orang beriman.
Iman secara bahasa
bermakna
"pembenaran". Maksudnya
pembenaran terhadap
apa yang disampaikan
oleh Nabi Muhammad
saw., yang
pokok-pokoknya tergambar
dalam rukun iman yang enam; yakni (1) keesaan Allah
swt., (2)
malaikat, (3) kitab-kitab suci, (4) para nabi dan rasul
Allah, (5)
hari kemudian, (6) takdir yang
baik & buruk.
Peringkat iman dan kekuatannya berbeda
antara satu dan saat lainnya. Begitu
pula dengan
kekuatan iman masing-masing
manusia, berbeda antara satu dengan
lainnya. Dalam
suatu riwayat, disebutkan bahwa 'Al immanu yaziidu wa yanqushu'
(iman itu
fluktuatif, dapat bertambah dan
bisa juga berkurang). Karena itulah
kita wajib merawat iman agar
tetap prima.
Seseorang
dapat dikatakan memiliki iman
yang kuat bila memenuhi ciri-ciri
sbb:
1. memiliki jiwa muraqabah, artinya selalu
merasa dilihat, ditatap, dan diawasi
Allah swt.
2. hatinya mudah tersentuh
dengan nasihat-nasihat agama,
3. berjiwa
tawakal, pasrah kepada Allah
setelah berikhtiar dengan
sungguh-sungguh,
4. selalu berkomunikasi dengan
Allah dengan shalat dan doa,
5. memiliki kepekaan sosial,
sehingga selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk
fakir miskin.
Ciri-ciri ini diambil dari firman Allah
berikut ini,
"Sesungguhnya orang-orang
yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut
nama Allah
gemetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan
kepada mereka
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakal.
Yaitu orang-orang
yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rizki
yang Kami
berikan pada mereka.
Itulah orang-orang yang
beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka
akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta
nikmat yang mulia." (Q.S. Al Anfal 8:2-4)
Setelah
beriman, yang bisa
menyelamatkan manusia dari
kejatuhan adalah
'Amilus shalihat'
(beramal saleh). Kalimat
'Amilus shalihat' dalam Al Quran
disebut hingga
52 kali. Kata 'amiluu berasal
dari kata 'amalun, artinya
pekerjaan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata 'shalihaat' berasal dari
kata 'shaluha', artinya
bermanfaat atau sesuai.
Jadi,
amal saleh adalah
aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran
bahwa pekerjaan itu memberi
manfaat untuk dirinya maupun untuk orang lain, serta
pekerjaannya itu
sesuai dengan aturan-aturan
yang telah ditentukan. Syaikh
Muhammad Abduh
mendefinisikannya sebagai berikut,
"Amal saleh adalah segala
perbuatan yang berguna bagi
diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara
keseluruhan."
Perlu
ditegaskan, amal saleh
harus dibarengi dengan poin
pertama yaitu
iman. Tanpa iman kepada Allah
swt., amal yang dilakukan akan sia-sia belaka.
"Dan Kami hadapkan segala
amal baik yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
itu bagaikan debu yang
berterbangan." (Q.S. Al Furqan 25: 23)
Maka bagi orang-orang yang mengisi hidupnya dengan
iman dan karya (amal saleh),
bagi mereka "ajrun ghairu
mamnun" (pahala yang tiada putus).
7. Famaa yukadzdzibuka ba'du
biddiin
"Maka apakah
yang menyebabkan kamu mendustakan
hari pembalasan sesudah adanya
keterangan-keterangan
itu?"
Bentuk
pertanyaan pada ayat
ini, dalam bahasa
Arab disebut "istifham
inkari", mengandung
penegasan bahwa tidak ada alasan apapun yang patut membuat
manusia mendustakan
hari pembalasan dan mengingkari
ajaran-ajaran Allah swt.,
setelah mengetahui bahwa
manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling mulia.
Surat ini
kemudian ditutup dengan
kalimat bertanya yang bertujuan agar
manusia mau berpikir.
8. Alaisallaahu biahkamil
haakimiin
"Bukankah Allah itu Hakim
yang seadil-adilnya?"
Seolah
ayat ini mengatakan, "Pikirkanlah wahai manusia,
hanya Allah swt.
Hakim yang
Maha Adil dan Maha Mengetahui
kebutuhan kamu. Oleh sebab itu hanya
aturan-aturan-Nya yang bisa
memenuhi kebutuhanmu!"
Semoga kita menjadi orang-orang yang dapat menjaga
kemuliaan yang Allah berikan
dengan selalu meningkatkan iman
dan mengerjakan amal saleh.